Perwujudan Prilaku Belajar
Untuk memahami arti belajar dan esensi perubahan karena belajar, para ahli sependapat atau sekurang-kurangnya terdapat titik temu diantara mereka mengenai hal-hal yang prinsip akan tetapi mengenai apa yang dipelajari siswa dan bagaimana perwujudannya, agaknya masih tetap merupakan teka-teki yang sering menimbulkan silang pendapat yang cukup tajam diantara para ahli itu, meskipun demikian, berikut ini akan penyusun turunkan pendapat sekelompok ahli yang relatif lebih lengkap mengenai prilaku belajar. Pemakaian pendapat sekelompok ahli ini, tidak berarti mengecilkan pendapat kelompok ahli lainnya. Manifestasi atau perwujudan prilaku belajar biasanya lebih sering tampak dalam perubahan-perubahan sebagai berikut :
- Kebiasaan.
- Keterampilan.
- Pengamatan.
- Berpikir asosiatif dan daya ingat.
- Berpikir rasional.
- Sikap.
- Inhibisi.
- Apresiasi.
- Tingkah laku efektif.
Timbulnya sikap dan kesanggupan yang konstruktif, juga berpikir kritis dan kreatif, seperti yang dikemukan sebagian ahli, tidak penyusun uraikan secara eksplisit, mengingat keterpaduannya dalam sembilan perwujudan diatas.
1. Kebiasaan
Setiap siswa yang telah mengalami proses belajar, kebiasaan-kebiasaannya akan tampak berubah. Menurut Burghardt (1973), kebiasaan itu timbul karena proses penyusutan kecenderungan respon dengan menggunakan stimulasi yang berulang-ulang. Dalam proses belajar, kebiasaan juga meliputi pengurangan prilaku yang tidak diperlukan. Karena proses penyusutan/pengurangan inilah, muncul suatu pola bertingkah laku baru yang relatif menetap dan otomatis. Kebiasaan ini terjadi karena prosedur pembiasaan seperti dalam classical dan operant conditional. Contoh : Siswa yang belajar bahasa secara berkali-kali menghindari kecenderungan penggunaan kata-kata atau struktur yang keliru. Akhirnya akan terbiasa dengan menggunakan bahasa secara baik dan benar. Jadi, berbahasa dengan cara yang baik dan benar itulah perwujudan prilaku belajar siswa tadi.
2. Keterampilan
Keterampilan ialah kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat saraf dan otot-otot. (neuromuscular), yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniyah seperti menulis, mengetik, olehraga, dan sebagainya. Meskipun sifatnya motorik, namun keterampilan ini memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi. Dengan demikian, siswa yang melakukan gerakan motorik dengan koordinasi dan kesadaran yang rendah dapat dianggap kurang atau tidak terampil.
Disamping itu, menurut Reber (1988), keterampilan adalah kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi secara mulus, dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai suatu hasil tertentu. Keterampilan bukan hanya meliputi gerak motorik melainkan juga pengejawantahan fungsi mental yang bersipat kognitif. Konotasinya pun luas, sehingga sampai pada mempengaruhi atau memdayagunakan orang lain. Artinya orang yang mampu mendayagunakan orang lain secara tepat juga dianggap sebagai orang yang terampil.
3. Pengamatan.
Pengamatan artinya proses menerima, menafsirkan dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui pancaindera seperti mata dan telinga. Berkat pengalaman belajar seseorang siswa akan mampu mencapai pengamatan yang benar-benar objektif sebelum mencapai pengertian. Pengamatan yang salah akan mengakibatkan timbulnya pengertian yang salah pula. Sebagai contoh, seorang anak yang baru pertama kali mendengarkan radio akan mengira bahwa penyiar benarbenar berada dalam kotak bersuara itu. Namun melalui proses belajar lambat laun akan diketahuinya bahwa yang ada dalam radio tersebut hanya suaranya, sedangkan penyiarnya berada jauh di studio pemancar.
4. Berpikir asosiatif dan daya ingat
Secara sederhana berpikir asosiatif adalah berpikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya. Berpikir asositif merupakan proses pembentukan hubungan antara rangsangan dan respon. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa kemampuan siswa untuk melakuan hubungan asosiatif yang benar amat dipengaruhi oleh tingkat pengertian atau pengetahuan yang diperoleh dari hasil belajar. Sebagai contoh, siswa yang mampu menjelaskan arti penting tanggal 12 rabiul awal. Kemampuan siswa tersebut dalam mengasosiasikan tanggal bersejarah itu dengan tanggal ulang tahun (maulid) nabi Muhammad Saw. Ini hanya bisa dilakukan apabila ia telah mempelajari riwayat hidup beliau.
Selain itu, daya ingatpun merupakan perwujudan belajar, sebab merupakan unsur pokok dalam berpikir asosiatif.
Jadi, siswa yang telah mengalami proses belajar akan ditandai dengan bertambahnya simpanan materi (pengetahuan dan pengertian) dalam memori. Serta meningkatnya kemampuan menghubungkan materi tersebut dengan siatuasi atau stimulasi yang sedang ia alami/hadapi.
5. Berpikir rasional dan kritis.
Berpikir rasional dan kritis adalah perwujudan prilaku belajar terutama yang bertalian dengan pemecahan masalah. Pada umumnya, siswa yang berpikir rasional akan menggunakan dasar-dasar prinsip dan pengertian dalam menjawab “bagaimana” (Haw) dan “mengapa” (Why). Dalam berpikir rasional siswa dituntut menggunakan logika (akal sehat), untuk menentukan sebab akibat, menganalisis, menarik kesimpulankesimpulan.dan bahkan juga menciptakan hukum-hukum (kaidah-kaidah teoritis), dan ramalan-ramalan. Dalam hal berpikir kritis, siswa dituntut menggunakan strategi kognitif tertentu yang tepat untuk menguji keandalan gagasan pemecahan masalah dan mengatasi kesalahan atau kekurangan (Reber, 1988).
6. Sikap.
Dalam arti yang sempit, sikap adalah pandangan atau kecenderungan mental. Menurut Bruno (2000), sikap (attitude), adalah kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara yang baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu. Dengan demikian, pada prinsipnya sikap itu dapat kita anggap suatu kecenderungan siswa untuk bertindak dengan cara tertentu. Dalam hal ini, perwujudan prilaku belajar siswa akan ditandai dengan munculnya kecenderungankecenderungan baru yang telah berubah (lebih maju dan lugas) terhadap suatu objek. Tata nilai, peristiwa dan sebagainya.
7. Inhibisi
Secara singkat, inhibisi adalah upaya pengurangan atau pencegahan timbulnya suatu respon lain yang sedang berlangsung. (Reber, 1988). Dalam hal belajar, yang dimaksud dengan inhibisi adalah kesanggupan siswa untuk mengurangi atau menghentikan tindakan yang tidak perlu, lalu memilih atau melakukan tindakan lainnya yang lebih baik ketika ia berinteraksi dengan lingkungannya.
Kemampuan siswa dalam melakukan inhibisi pada umumnya diperoleh dari proses belajar. Oleh sebab itu, makna dan perwujudan prilaku belajar seorang siswa akan tampak pula dalam kemampuannya melakukan inhibisi ini. Contoh: seorang siswa yang telah sukses mempelajari bahaya alkohol akan menghindari membeli minuman keras. Sebagai gantinya ia membeli minuman sehat.
8. Apresiasi
Pada dasarnya, apresiasai berarti suatu pertimbangan (judgement), mengenai arti penting atau nilai sesuatu. (Chaplin, 1993). Dalam penerapannya, apresiasi seing diartikan sebagai penghargaan atau penilaian terhadap benda-benda, baik yang abstrak maupun konkrit yang memiliki nilai luhur. Apresiasi adalah gejala ranah afektif yang pada umumnya ditinjau pada karya-karya seni budaya seperti : seni sastra, seni musik, seni lukis drama dan sebagainya.
Tingkat apresiasi seorang siswa terhadap nilai sebuah karya sangat bergantung pada tingkat pengalaman belajarnya. Sebagai contoh: jika seorang siswa telah mengalami proses belajar agama secara mendalam, maka tingkat apresiasinya terhadap nilai seni baca alqur’an dan kaligrafi akan mendalam pula. Dengan demikian, pada dasarnya seorang siswa baru akan memiliki apresiasi yang memadai terhadap objek tertentu (misalnya kaligrafi), apabila sebelumnya telah mempelajari materi yang berkaitan dengan objek yang dianggap mengandung nilai penting dan indah tersebut.
9. Tingkah laku afektif
Tingkah laku afektif adalah tingkah laku yang menyangkut keanekaragaman perasaan. Seperti : takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was dan sebagainya.
Tingkah laku seperti ini tidak terlepas dari pengaruh pengalaman belajar. Oleh karenanya, ia juga dapat dianggap sebagai perwujudan prilaku belajar.
Seorang siswa, misalnya, dapat dianggap sukses secara aktif dalam belajar agama apabila ia telah menyenangi dan menyadari dengan ikhlas kebenaran ajaran agama yang ia pelajari. Lalu menjadikannya sebagai sistem nilai diri, kemudian, pada gilirannya ia menjadikan sistem nilai ini sebagai penuntun hidup. Baik dikala suka maupun duka. (Darajat, 1993).